Beautiful Side of Banyumas

Bahasa Banyumasan

Di daerah Banyumas berkembang bahasa Jawa dialek Banyumasan. Bahasa Banyumasan adalah bahasa yang lebih tua dari Bahasa Jawa yang berkembang saat ini. Bahasa Banyumasan memiliki spesifikasi berupa penggunaan vokal dan konsonan pada akhir kata yang diucapkan dengan jelas. Hal ini ditandai dengan beberapa kata dalam Bahasa Kawi, yang merupakan nenek moyang dari Bahasa Jawa, yang masih dipakai dalam logat banyumasan seperti kata rika (kamu) juga kata inyong (aku) yang berasal dari kata ingong serta pengucapan vokal a secara utuh yang menjadi pengucapan logat banyumasan seperti halnya Bahasa Kawi/Sansekerta.
Sebelum terkena pengaruh dari keraton/kerajaan, Bahasa Jawa hampir tidak ada perbedaan antara krama inggil dan ngoko. Setelah masa-masa kerajaan Jawa, maka Bahasa Jawa mengalami penghalusan yaitu bahasa yang dipakai oleh rakyat biasa dan yang dipakai oleh keluarga kerajaan dibedakan pengucapannya walaupun maknanya sama.
Selain pengucapan pada vokal 'a' yang diucapkan secara utuh (bukan seperti kebanyakan logat bahasa Jawa lainnya yang diucapkan menyerupai vokal 'o'), logat ini mempunyai penekanan huruf-huruf dengan lebih jelas atau tebal, seperti huruf 'k' diakhir kata dibaca mendekati bunyi huruf 'g', huruf 'p' dibaca mendekati bunyi huruf 'b', juga ada beberapa partikel tambahan yang bisa dijadikan ciri logat banyumasan seperti
lah, yuh, la, thok, baén, géh, gyéh, baé, mbok, dan lain-lain. Bahasa logat banyumasan lebih banyak dipakai pada penggunaan sehari-hari dalam pergaulan. Bahasa dengan dialek banyumasan tidak hanya bisa memancing ledakan tawa bagi orang lain, bahasa Jawa Banyumasan juga dianggap memiliki potensi untuk tampil dalam kedudukan, fungsi, dan peran yang lebih luas dan bermakna. Bahkan dibandingkan dengan pendukung dialek lain, penutur bahasa banyumasan sebenarnya tergolong banyak. Disamping orang-orang yang lahir dan besar di wilayah Banyumas, tidak sedikit pula orang-orang yang telah lama tinggal di beberapa kota lain di luar Banyumas, tetap mencintai bahasa banyumasan dan memiliki suatu komunitas yang biasanya disebut komunitas panginyongan.
Sekalipun demikian, kekhawatiran akan kepunahan bahasa Banyumasan terus mengemuka seiring dengan kecemasan akan hilangnya sarana sikap penjorangan itu. Saat ini, bahasa Banyumasan mulai ditinggalkan oleh yang punya. Banyak wong panginyongan (sebutan bagi orang asli banyumas) yang berumur 40 - 50 tahun yang sudah tidak fasih lagi berbicara banyumasan. makin banyak pula keluarga yang hanya menggunakan bahasa Indonesia saja dalam penuturan sehari-hari, terutama yang tinggal di daerah perkotaan, sekalipun mereka merupakan pasangan yang lahir dan besar di banyumas dan dengan bahasa banyumas juga.
Ada anggapan bahwa bahasa banyumasan kurang memiliki gengsi dan tidak terlalu bermanfaat. Padahal dengan kemampuan berdwibahasa akan dapat memperkaya khazanah bahasa. Terlebih bahasa tersebut merupakan bahasa ibu.
Gejala melunturnya kebanggaan orang banyumas terhadap bahasanya tidak terlepas dari persepsi mereka terhadap unsur budaya yang mereka punya itu. Banyak orang Banyumas yang diam-diam merasa rendah diri jika berhadapan dengan orang dari wilayah jogja/solo. Orang banyumas cenderung menganggap bahasanya tidak bagus, kasar, ndesani, dan lain-lain. Mereka menganggap orang jogja/solo merupakan majikan, priyayi, bahasanya lebih sopan dan halus, sedangkan orang banyumas menganggap mereka hanya keturunan orang kecil, miskin, petani, dan lain sebagainya.
Bahasa banyumasan ini masih saja dianggap sebagai bahasa yang hanya mampu memancing tawa bagi pendukung subkultur lain, sehingga dalam pakeliran hanya mendapat porsi paling banyak pada adegan gara-gara, sebagai alat komunikasi orang-orang bawahan. Dari tulisan, ada beberapa teks sastra klasik yang ditulis dalam bahasa banyumasan seperti Sejarah Wirasaba, Babad Wirasaba Kejawar, Serat Soedjarah Banjoemas, dan Lampahan Kramane Palasara, namun semua itu sepertinya tidak terlalu populer di kalangan masyarakat banyumas. Karena itu ledekan yang menyatakan bahwa bahasa Jawa dialek banyumasan sekedar bahasa lawakan/lisan terus saja menggema. Padahal setiap bahasa itu unik, tidak ada yang kasar ataupun yang halus. Seperti dikutip dari pernyataan sosiolinguis Banyumasan, Dr. Fathur Rokhman, berikut:


"Tidak ada satu bahasa yang lebih halus atau lebih kasar dari bahasa lain. Jika kelugasan sebagai ciri bahasa Banyumasan dianggap kasar, justru disitulah terletak sesuatu yang membanggakan. Cablaka adalah karakteristik yang perlu dibanggakan"

Kesenian Banyumasan
Kentongan
Kentongan merupakan jenis pertunjukkan massal yang menggunakan kentong sebagai perangkat utamanya. Perangkat kentong dibuat dari potongan bambu yang dilubangi agak memanjang di bagian sampingnya. Di Banyumas, kentongan merupakan salah satu kesenian yang biasa digelar pada upacara-upacara resmi sebagai suatu hiburan untuk tamu-tamu yang hadir. Bahkan di wilayah Banyumas sudah ada festival resmi kentongan sehingga makin banyak kelompok-kelompok kentongan yang bermunculan disini. Disamping kentong, dalam satu kelompok biasanya juga dilengkapi berbagai perangkat tambahan agar bunyinya semakin semarak. Perangkat tambahan itu antara lain berupa beduk, kecrek, seruling, dan lain sebagainya. Dalam satu regu kentongan terdiri dari sekitar 20 orang pemain dan dipimpin oleh mayoret. Pemain kentongan biasanya berjenis kelamin laki-laki.
Calung
Perangkat musik khas Banyumas yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong, dan kendang. Dalam penyajiannya, calung diiringi vokalis yang disebut sinden. Perangkat musik ini berlaras slendro dengan nada ji(1), ro(2), lu(3), ma(5), dan nem(6).
Bongkel
Musik tradisional mirip angklung, hanya terdiri dari satu buah instrumen dengan empat bilah berlaras slendro dengan nada ro(2), lu(3), ma(5), dan nem(6).
Karawitan Gagrag Banyumas
Merupakan salah satu gaya dalam karawitan jawa yang tumbuh dan berkembang di wilayah sebaran budaya Banyumasan. Karawitan gagrag banyumasan memiliki 3 warna yaitu wetanan, kulonan, dan banyumasan. Warna wetanan dalam karawitan ini dipengaruhi oleh karawitan kraton (Surakarta dan Jogjakarta). Warna kulonan dipengaruhi oleh karawitan gaya Sunda. Adapun warna banyumasan adalah warna yang khas yang dilatarbelakangi oleh budaya masyarakat setempat yang bernafas kerakyatan. Ketiga warna tersebut dijumpai pada bentuk gending, garap gending, dan garap instrumen dalam setiap penyajiannya.
Karawitan gagrag banyumasan disajikan dalam perangkat gamelan ageng namun dapat pula disajikan dengan menggunakan perangkat musik calung atau angklung yang merupakan perangkat musik khas Banyumas.
Cagenjring
Dalam cagenjring, alat musik tabuh semacam rebana dan gendang berpadu dalam satu harmonisasi melodi, ditambah alunan calung, kentongan, dan tamborin yang dimodifikasi sedemikian rupa. Selain itu terdapat juga bedug karet serta alat musik baru yang dibuat dari bambu bernama kentur. Kentur mirip dengan angklung namun ditambah dengan modifikasi berupa bantalan karet.
Pertunjukkan cagenjring ditampilkan bersama dengan penari lengger dan lantunan nyanyian dari sinden. Cagenjring merupakan permainan musik khas banyumasan yang didominasi rasa yang tumbuh dalam irama kehidupan banyumas yang penuh kelugasan dan apa adanya.

Photobucket


Photobucket


Photobucket


Photobucket

Ebeg
Ebeg merupakan tarian tradisional khas Banyumas yang menggunalan kuda kepang (ebeg) sebagai propertinya. Kuda kepang tersebut dibuat dari anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan dihiasi kencringan. Dalam tarian ini digambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan berbagai atraksinya dan biasanya dibawakan oleh 8 orang penari pria. Penarinya menggunakan celana sebatas lutut, kacamata hitam, mahkota, serta sumping ditelinga. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan. Dalam salah satu atraksi, yang paling menarik adalah pada saat penari kerasukan (mendem), mereka memakan pecahan kaca, barang-barang tajam, mengupas kelapa dengan gigi, memakan bara api, dan lain-lain. Tarian ini diiringi oleh permainan gamelan dan dilengkapi oleh sintren (penari pria yang berdandan seperti wanita) dalam sebuah kurungan. Tarian ini biasanya dipertunjukkan di lapangan atau halaman yang luas.

Photobucket

Lengger
Lengger dibawakan oleh 2 orang penari wanita atau lebih dimana pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang atau lebih penari pria yang biasa disebut badhud. Lengger merupakan tarian tradisional Banyumasan yang masih tumbuh subur di wilayah Banyumas. Lengger dipertunjukkan dengan iringan musik calung.

Photobucket


Photobucket


Photobucket


Sangat menarik dan indah bukan? Lalu, sudahkah kita bangga dengan budaya yang kita miliki? Semoga tulisan ini dapat menambah pengetahuan kita dan membuat kita makin mencintai budaya dan seni yang kita miliki.
"Inyong bangga dadi wong Banyumas"



Sumber:
  • banyumaskab.go.id
  • ngapak.com
  • buku refrensi "Babad Banyumas"

7 comments:

endar fitrianto said...

inyong lahir neng Solo, dadi ngapak kie. Ra papa mbok...

oot
ijin ngelink ya

paank Fachrezi said...

enyong wong kebumen tapi sekolah nang purwokerto.

kue njiot nang nggone mbah wiki ya?

omoshiroi said...

inilah salah satu bukti nyata tentang keanekaragaman serta sekaligus kekayaan Indonesia dalam hal kebudayaan daerah..namun ironisny terbunuh secara perlahan oleh masyarakat,budaya modern,dan stigma kuno/ketinggalan zaman..
apa yang bisa kita perbuat?

+salam3jari+

chika said...

@laboratorium ide_owner : Itu kan dah ada sumbernya tercantum di bagian paling bawah postingannya..

Bang Yasir said...

sumpah demi Allah saya jatuh cinta ma kota ini sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini (purwokerto). awalnya aku berfikir bahwa benar apa yang dikatakan orang bahwa tempat ini super ndeso.

but...
semua berubah sejak aku melihat sendiri banyumas.ga peduli apa kata orang yang mengejek aku karena aku kuliah di sini.

aku cinta banyumas dan budayanya
aku cinta mendoan, makanan paling enak sedunia

Kaka said...

seru.. budayanya asik
http://www.asephd.co.cc

buyungsubejo said...

kadang rasa minder pancen ana,pas lagi ngomong karo wong2 selain banyumas. apa maning wong jawatimur jan brekele banget nek di jak ngomong malah nirok2na omonganku. tapi aku ra perrduli,meski ws ngranto 9 th suwene cara ngomong pengiyonganku ya kue ciri khasku. banyumas sejatine natural budayane mbokan sedulur